Tony Rosyid: Tunda Pemilu Picu Ledakan Sosial

    Tony Rosyid: Tunda Pemilu Picu Ledakan Sosial

    JAKARTA - Meski tuntutan penundaan pemilu secara tegas ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tetap muncul putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Partai Prima menggugat KPU, lalu gugatannya dikabulkan oleh PN Jakarta Pusat. Inti putusannya: pemilu ditunda. Putusan aneh dan oleh para pakar hukum dianggap menciderai dunia hukum. Meski juru bicara istana terlihat membelanya.

    Sebelumnya, isu tunda pemilu secara intens dan masif terus diwacanakan oleh kelompok yang berafiliasi ke istana. Mulai dari partai koalisi, oknum di lembaga survei, hingga menggunakan jasa para buzzer. Publik paham siapa yang bermain dan menjadi aktor utama penundaan pemilu. Para pemain watak tetap terbaca melalui berbagai info yang di era digital ini mudah untuk diakses bocorannya.

    Sesuai jadual, pemilu dilaksanakan tahun 2024. Pilpres-pileg di bulan pebruari, dan pilkada di bulan oktober 2024. UU pemilu mengatur pelaksanakan pemilu tahun 2024.

    Semua seharusnya berpijak pada undang-undang. Ini logika normal dan sehat. Setiap kebijakan di luar ketentuan undang-undang yang berlaku, itu ilegal dan tidak memiliki legacy untuk diakui dan diterima. Harus ditolak secara massal sebagai sesuatu yang melanggar aturan. Di negara hukum, semua program dan kebijakan mesti taat aturan.

    Tahun depan (2024) akan digelar pemilu, baik pilpres, pileg maupun pilkada. Mereka yang ikut jadual ini masuk dalam kelompok yang taat aturan. Kata Ibu Mega, mereka adalah kelompok konstitusional. Tunda pemilu, itu inkonstitusional.

    Di pilpres 2024 nanti, setidaknya ada dua hingga tiga pasang capres-cawapres. Pertama, Anies Baswedan yang diusung oleh Koalisi Perubahan. Kedua, calon dari PDIP. Kemungkinan adalah Puan Maharani. Ketiga, Prabowo Subianto. Meski nasib Prabowo masih bergantung pada PKB.

    Dari tiga kandidat calon ini, Koalisi Perubahan memilih taat pada aturan. Koalisi Perubahan mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk berkontestasi secara fair di pilpres pebruari 2024. Kalau pemilu ditunda, Koalisi Perubahan, khususnya Anies Baswedan sebagai capresnya akan merasa paling dirugikan. Sebab, Anies di 2024 ini boleh dibilang Rising Star. Inilah "Golden Moment" bagi Anies.

    Bagaimana dengan PDIP? Sampai saat ini, PDIP konsisten dengan jadual pemilu 2024. Apa pertimbangannya? Jika pemilu ditunda, maka Jokowi akan makin berkuasa. Ini bahaya bagi PDIP di tengah sedang mempersiapkan suksesi kepemimpinan partai. Tunda pemilu sama artinya memberi peluang buat Jokowi untuk berkuasa lebih lama, bahkan bisa seumur hidup. Bagi PDIP, ini akan jadi ancaman. Sederhananya, kalau pemilu ditunda, Jokowi makin berkuasa, dan selanjutnya kepwmimpinan PDIP bisa diambil alih Jokowi. Apa yang tidak bisa dilakukan oleh penguasa yang makin berkuasa. Apapun alasan realistisnya, PDIP dalam konteks ini konsisten dengan konstitusi.

    Lalu, bagaimana dengan Prabowo? Belum ada statemen. Apa ini artinya Prabowo juga sepakat pemilu ditunda? Rumor yang berkembang, sejumlah anak buah Prabowo di partai sepakat dengan penundaan pemilu. Benarkah?

    Undang-undang mewajibkan pemilu digelar tahun 2024. Tapi, ada pihak-pihak yang menginginkan pemilu diundur, lalu cari alasan dan landasan hukumnya. Ke MK gagal, lalu ke PN Jakarta Pusat. Kelompok ini gigih mengupayakan mundur pemilu dengan berbagai cara, meski ditolak MK dan berisiko terjadi keributan, bahkan terjadi ledakan politik. Nampaknya, nafsu dan ambisi kelompok ini mengabaikan aturan dan tidak peduli dengan semua risiko yang kemungkinan akan terjadi. Siapa mereka? Adalah orang-orang yang diuntungkan jika pemilu ditunda. 

    Mayoritas anggota DPR dan DPD senang jika pemilu ditunda. Mereka dapat tambahan waktu gratis, dengan gaji, tunjangan dan fasilitas yang tentu saja anda tahu.

    Selain anggota DPR dan DPD, tentu saja mereka yang berada di lingkaran kekuasaan. Mereka bisa berkuasa lebih lama dengan semua fasilitas yang mereka peroleh. Bahkan kalau beruntung bisa berkuasa seumur hidup. Enak bukan?

    Kelompok berikutnya adalah kelompok ketiga. Mereka menginginkan pemilu dipercepat, sebelum 2024. Pertama, mereka memang tidak pernah percaya kepada penguasa. Menurut mereka, ada sejumlah orang yang secara licik selalu mendorong tiga periode, tunda pemilu, calon boneka, jegal lawan, dan upaya-upaya kelicikan lainnya. Kedua,  mereka tidak punya panggung kecuali jika terjadi ledakan. Maka, mereka menunggu trigger yang berpotensi menciptakan ledakan itu.

    Bagi kelompok ini, isu tunda pemilu dianggap momen yang tepat karena bisa jadi trigger ledakan politik, dan akhirnya pemilu bisa dipercepat. 

    Ketika keputusan PN Jakarta Pusat meminta KPU menunda pemilu, maka kelompok ini merasa mendapat momentum. Mereka langsung melakukan konsolidasi, memantau situasi kapan yang tepat untuk diledakkan.

    Pada akhirnya, akan sangat bergantung kepada pihak penguasa itu sendiri. Kalau bersikap wajar, normal, dan konsisten terhadap undang-undang, maka kecil kemungkinan akan terjadi preseden di negeri ini. Tapi, jika mereka yang berada di lingkaran kekuasaan tetap ngotot tunda pemilu, ledakan sedang ditunggu oleh pihak-pihak tertentu. Kalau ini terjadi, maka akan bergantung siapa yang lebih kuat. Yang kuatlah yang akan menjadi pemenangnya 

    Bagaimana dengan nasib rakyat dan bangsa ini? Lagi-lagi, rakyat dan bangsa ini yang akan selalu jadi korban. 

    Jakarta, 5 Maret 2023

    Tony Rosyid
    Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

    tony rosyid makhmah konstitusi
    Updates.

    Updates.

    Artikel Sebelumnya

    Tony Rosyid: Siapa Dibalik Partai Prima?

    Artikel Berikutnya

    Hendri Kampai: Macan Versus Banteng di Antara...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Babak Baru Imigrasi Indonesia: E-Paspor Kini Jadi Pilihan Utama
    Doktor Najamudin Amy dan Empat Pjs Kepala Daerah NTB Terima Penghargaan Mendagri
    Rakor Satgas Saber Pungli Kota Mataram: Fokus Tingkatkan Kinerja dan Pendapatan Daerah
    Pererat Sinergi, Satresnarkoba Polresta Mataram dan BNN Kota Mataram Bersatu Perangi Narkoba

    Ikuti Kami