HUKUM - Pernahkah Anda merasa gemas ketika melihat koruptor yang dengan santainya tersenyum lebar, walau sudah dijatuhi hukuman? Bukan hukuman berat yang membuat mereka gentar, melainkan fasilitas mewah di balik jeruji yang seolah menjadi "resor eksklusif." Celaka dua belas, rakyat hanya bisa menonton dari jauh, dengan hati geram dan tangan mengepal.
Tapi tunggu dulu, bayangkan sejenak, jika rakyat yang mengambil kendali untuk menghukum para koruptor. Jangan buru-buru membayangkan hal-hal radikal, karena rakyat punya caranya sendiri—unik, kreatif, dan menyentil rasa malu yang mereka abaikan.
Bayangkan skenario ini: seorang koruptor kelas kakap baru saja bebas setelah menjalani hukuman "pura-pura." Hari pertama di rumah, tetangga menggelar aksi protes diam-diam. Setiap kali dia keluar rumah, tetangga kompak memakai kaos bertuliskan, "Saya Bayar Pajak, Anda Mencuri Pajak" sambil melambaikan sapu lidi. Tak ada kekerasan, hanya kekuatan rasa malu yang dipertontonkan. Setiap tempat yang dia kunjungi, warung, pasar, atau kantor, semua orang serempak bersiul dengan nada sumbang—kode rahasia bahwa dia tidak lagi diterima.
Atau coba ini, koruptor baru pulang ke kampung halamannya. Alih-alih disambut hangat, warga kampung memutuskan untuk mendirikan "Monumen Malu, " lengkap dengan patung kecil si koruptor memegang koper penuh uang. Setiap tamu yang datang diajak tur keliling desa, dengan monumen sebagai titik utama. "Ini bukti sejarah, " kata kepala desa sambil tersenyum, "bahwa moral bisa dijual murah, tetapi harga dirinya abadi."
Lebih seru lagi, ada ide menggelitik dari dunia maya. Warga netizen yang kreatif membuat game online berjudul "Koruptor Run"—semacam Temple Run tapi dengan alur yang lucu. Dalam game itu, pemain menjadi koruptor yang harus menghindari sepiring pecel basi, sandal jepit terbang, dan teriakan emak-emak yang meminta uang belanja dikembalikan. Rating game ini? Langsung melejit jadi nomor satu.
Apakah ini semua solusi? Mungkin tidak. Tapi setidaknya, jika hukuman negara hanya menjadi lelucon yang tidak membuat koruptor jera, rakyat bisa menyentil dengan cara mereka sendiri. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan kekuatan kolektif rasa malu. Biarkan mereka tahu bahwa tidak ada tempat bagi pencuri uang rakyat di negeri ini, bahkan di hati rakyat sekalipun.
Jadi, jika hukuman negara tak membuat mereka jera, mari kita gunakan humor rakyat untuk mengurus mereka. Bukankah tertawa adalah senjata paling mematikan? Tapi dalam hal ini, tawa itu berfungsi sebagai pengingat bahwa kejahatan mereka tidak akan pernah dilupakan.
Jakarta, 26 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi